"Have the sense to ourselves in other people's shoes. Life's not always about Me, Me and Me"
(Diana Rikasari)
Bermula dari ketidaksukaan seseorang atas ide dan pemikirannya yang menurut dia bagus, tapi saya tidak menuruti keinginannya untuk memakai idenya. Demi Allah bukan karena saya merasa paling benar. Atau bukan karena kerasnya hati saya tidak menerima idenya tsb. Ingin saya jelaskan tapi sepertinya sulit untuk membuatnya mengerti. Maaf kan saya ya sodara, semoga jika kau membaca tulisan ini, kau akan tau maksudku.
Adalah kaki yang punya ukuran sepatu. Setiap orang punya kakinya sendiri-sendiri. Dengan ukurannya sendiri. Biasanya yang punya kaki yang tau persis, berapa ukuran sepatunya, warnanya, kegunaannya, modelnya, untuk berapa lama sepatu itu di pakai, untuk acara apa sepatu itu di pakai dsb yang sesuai dg kebutuhannya.
Andaikan masalah dalam hidup seseorang yang sedang butuh solusi adalah ibarat kaki yg sedang butuh sepatu, bukankah lebih bijak jika kita ingin menawari sepatu (baca: solusi), kita juga mesti tau detail sepatu apa yang sedang di butuhkan?
Misalnya.. Ukuran sepatu saya adalah 37.5. Tapi berhubung di pasaran yang ada ukuran 37 atau 38, maka saya akan mengepaskan sepatu dengan 2 ukuran tersebut. Terkadang beda model juga mempengaruhi. Kemudian sepatu itu akan saya pakai untuk lari pagi. Jadi saya butuh sepatu olahraga yang ringan tapi punya bantalan yang empuk untuk menghindari cedera kaki. Soal warna ga masalah yang penting buat saya nyaman aja.
Kemudian datanglah seseorang yang ingin memberi saya sepatu tanpa bertanya lebih dulu sepatu apa yang saya butuhkan. Dia bawa sepatu dengan hak tinggi, jadi maaf saja saya menolaknya. Kemudian datang lagi seseorang dengan serta merta memaksa saya memakai sepatu boots avepe. Maaf juga, kali ini pun saya menolaknya. Yo mosok lari pagi pakai sepatu terbuat dari plastik yang lebih cocok untuk kondisi banjir. Hingga datang berkali kali orang yang menawarkan sepatu yang tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan saya tanpa bertanya dulu sepatu apa yang saya butuhkan. Ada bawa sandal jepit, ada bawa sepatu flat dsb. Saya pun masih menolak dengan halus. Karena ga pas aja gitu. Harap maklum dong pliiis... Jangan maksa saya ya.
Jadi ketika saya menolak sepatu-sepatu itu, percayalah... Itu karena belum PAS aja. Jadi jangan cap saya dengan sebutan orang yang keras hati dan merasa benar yah? Duuhh..
Hal yang sama juga terjadi, ketika saya sedang punya masalah yang butuh solusi. Terima kasih banyak atas sumbangan ide dan pemikirannya, tapi semua itu akan saya tilik kembali apakah :
1. Sesuai dengan kondisi saya?
2. Apakah sesuai dengan kebutuhan saya?
Jikalau saya menolak ide tsb, karna saya gak mau ngikut asal ngikut. Ya jangan marah dan tersinggung tho yoo...
Wong kalo cuman ide, itu cuman teori aja. Mudah kali lah mbakyu..
Yang jalanin praktek itu loh perlu mental dan kesiapan dengan segala resiko nya.
Yang jalanin siapa?
Situ opo saya? Saya kan?
Emang mau saya salahkan kalau ternyata idenya justru makin buat kacau masalah saya?
Plis deh... Di pikir lagi dengan bijaksana. Menolak sebuah ide bukan berarti karena saya merasa paling benar dan punya hati yang keras.
Saya bukan orang yang merasa paling benar. Walah.. Wong saya ini hanya orang yang masih belajar untuk jadi orang benar dan baik aja kok mbakyu...
M-a-s-i-h b-e-l-a-j-a-r.
Makanya saya juga belajar untuk tidak ngepaskan sepatu saya di kaki orang lain. Banyak gak cocoknya mbakyu..
Saya cuman lagi belajar, gimana caranya saya bisa memberi sepatu ke orang lain sesuai dengan ukuran dan kebutuhannya. Karena saya pun juga ingin orang lain memperlakukan hal yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar